BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
al-Quran sebagai kitab umat Islam
yang jika dikaitkan dengan hukum Islam, maka didalamnya mengandung nash-nash
yang bernilai qath`i dan nash-nash yang bernilai dzanni. Dalam penafsiran dan
pengambilan hukum yang berasal dari nash-nash dzanni, ulama seringkali berbeda
pendapat, meskipun perbedaan itu pada dasarnya adalah untuk mencari
kemaslahatan umat. Sehingga, para ulama terdorong untuk melakukan ijtihad
dengan sungguh-sungguh untuk menjabarkan ayat Al-quran ataupun dalil hadits
yang bersifat dzanni tersebut agar tetap sesuai dengan perkembangan zaman dan
tempat. Salah satu dari ulama yang telah berijtihad untuk menggali hukum dan
telah menghasilkan karya-karya dalam fiqih adalah Imam Syafi`i. Dan hasil
ijtihad Imam Syafi`i adalah berbeda ketika berada di Irak Dan mesir, hal itu
tertuang dalam qaul qadim dan qaul jadid.
B.
Rumusan Masalah
1.
Siapakah
Imam Syafi`i?
2. Apa makna ontologis qaul qadim dan qaul jadid Imam
Syafi’i?
3.
Apa fator-faktor
yang melatarbelakangi munculnya qaul qadim dan qaul jadid?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui biografi Imam Syafi`i
2.
Untuk
mengetahui makna ontologis qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i
3.
Untuk
mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya qaul qadim dan qaul jadid?
BAB
II
PEMBAHASAN
“PENDEKATAN SOSIOLOGIS; BEBERAPA FAKTOR SOSIO-HISTORIS YANG MELATARBELAKANGI MUNCULNYA PERUBAHAN DARI QAUL QADIM KE QAUL JADID IMAM SYAFI`I”
A.
Biografi Imam Syafi`i
1. Nama Dan Nasab
Beliau
bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap
adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin
‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay.
Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay.
Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih
terhitung keturunan paman jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib. Bapak
beliau Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah jalan
menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di
Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah
Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘,
kakek dari kakek beliau, yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi’i),
menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shighar (yunior) Nabi. As-Saib,
bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan
fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraisy
dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan
menyatakan masuk Islam.[1]
Para
ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi’i
berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi
kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan
nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari
kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i bukanlah
asli keturunan Quraisy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja. Adapun
ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat
mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang
lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah
Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi’i adalah seorang
wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang
yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
2. Waktu Dan Tempat Kelahiran
Beliau
dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga
dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu
Hanifah dalam bidang yang ditekuninya. Tentang tempat kelahirannya, banyak
riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang
termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota
yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah
Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat
lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.[2]
Ibnu
Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan
dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di
wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz
dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu
berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau
dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan
terlupakan.
3. Pertumbuhan Dan Pengembaran Dalam mencari
Ilmu
Di
Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana,
sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu
untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah
melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi’i bercerita,
“Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang
mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut
menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata
kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata
kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi
murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia
baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru. Setelah rampung menghafal
Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk
menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan,
beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan
tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis.
Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang,
pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi.
Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan
bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca
dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum
beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau
juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau
memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah
terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya,
sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan
menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu
hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa
dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan
lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim
bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar
mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah
beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu. Beliau mengawalinya dengan
menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud
bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung
paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu
Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah
ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik.
Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda
sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat
Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya
pasti mengena sasaran.[3]
4. Keteguhan Hati Dalam Membela Sunnah
Sebagai
seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu
masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan al-Quran dan Sunnah Nabi
sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil
dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama
dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah
Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.”
Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar
Nashir as-Sunnah wa al-Hadits. Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan
beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka.
Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari
Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain
keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi’i
jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan
menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali
dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih. Imam Syafi ‘i berkata:
“Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya”. Al-Mazani berkata:
“Merupakan madzhab Imam Syafi’i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau
melarang kami sibuk dalam ilmu kalam”.[4] Ketidaksukaan
beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam
adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan
digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu
adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan al-Quran dan Sunnah dan memilih
ilmu kalam.
5. Wafat
Beliau wafat pada hari Kamis di awal bulan
Sya’ban tahun 204 H dan umur beliau sekita 54 tahun (Siyar 10/76). Meski Allah
memberi masa hidup beliau di dunia 54 tahun, menurut anggapan manusia, umur
yang demikian termasuk masih muda. Walau demikian, keberkahan dan manfaatnya
dirasakan kaum muslimin di seantero belahan dunia, hingga para ulama
mengatakan, “Imam Asy-Syafi`i diberi umur pendek, namun Allah menggabungkan
kecerdasannya dengan umurnya yang pendek”.[5]
6. Karangan-karangan
Sekalipun
beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan
jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak
kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut
al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut
al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya
disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.[6] Selama
beliau di Mesir, dalam waktu yang relatif singkat beliau berhasil menerbitkan
beberapa karyanya, baik itu dalam ilmu ushul fiqh atau dalam ilmu fiqh itu
sendiri. Dalam ilmu ushul fiqh, karyanya antara lain:
1. al-Risalah
2. Ahkami
al-Qur’an
3. Ikhtilafu
al-Hadits
4. Ibthalu
al-istihsan
5. Jami’u
al-Ilmi
6. Al-Qiyas
Sedangkan dalam ilmu
fiqh, beberapa karyanya antara lain:
1. Al-Umm
2. Al-Musnad
3. Mukhtasar
al-Muzani
4. Harmalh
5. Jami’u
al-Muzani al-Kabir
6. Jami’u
al-Muzani al-Saghir
7. Istiqbalu
al-Qiblatain
8. Mukhtasar
al-Buwaiti
9. Al-Amaali[7]
B.
Seputar Tentang Qaul Qadim Dan Qaul Jadid
1. Makna Ontologis Qaul Qadim Dan Qaul Jadid Imam
Syafi’i
a. Qaul
Qadim (Fatwa Lama)
Abu
Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i setelah ilmunya tinggi dan pemahamannya
tajam, hingga sampai ke derajat mujtahid mutlak, terdorong memiliki inspirasi
baru untuk berfatwa sendiri. Ia termotifasi untuk mengeluarkan hukum syar’i
dari al-Qur’an dan al-Hadits sesuai dengan ijtihadnya, yang terlepas dari
madzhab-madzhab gurunya, yakni Imam Hanafi dan Imam Maliki[8].
Keinginan
sepertinya mulai tampak tepatnya pada tahun 198 H di Baghdad, yaitu setelah
usianya genap 48 tahun. Utamanya lagi sesudah merasakan masa belajar kurang
lebih 40 tahun. Pada mulanya beliau mengarang kitab ushul al-fiqh di Iraq yang
diberi nama al-Risalah (surat kiriman). Kitab ini ditulis atas permintaan
Abdurrahman bin al-Mahdi di Makkah, yang memesan kepada Imam Syafi’i agar
menerangkan satu kitab yang mencakup ilmu tentang arti al-Qur’an dan hal ihwal
al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas dan nasakh dan mansukh. Setelah selesai ditulis
oleh Imam Syafi’i dan disalin oleh murid-muridnya, berikutnya dikirim kepada
Abdurrahman bin al-Mahdi.
Berkenaan
dengan kitab al-Risalah yang ditulisnya, Fakhru Rozi dalam kitab al-Manaqib al-Syafi’i
menilai dan mengatakan bahwa umat Islam sebelum Imam Syafi’i membicarakan fiqh,
untuk sekedar membantah dan mengambil dalil-dalil saja belumlah ditemukan
peraturan umum yang bisa dijadikan pedoman dalam menerima dan menolak dalil
itu. Namun begitu Imam Syafi’i menulis dengan ilmu-ilmu barunya, yang lebih
populer dengan sebutan kitab ushul fiqh dalam kitab al-Risalah,- dimana ia
telah meletakkan di dalamnya dasar-dasar dan peraturan-peraturan umum-, maka sejak
itulah banyak pihak yang mampu menyelidiki derajat dalil-dalil syari’at Islam.
Dengan
demikian jelaslah apa yang disebut madzhab (aliran) lama dan aliran baru. Apa
saja yang dikatakan dan ditulis Imam Syafi’i ketika berada di Iraq dinamakan
aliran lama, sedangkan yang dikatakan dan ditulis di Mesir dinamakan dengan
aliran baru. Pandangan senada juga dikemukakan oleh Ahmad Amin Abd al-Mun’im
al-Bahy, menurutnya ulama yang telah membagi fuqh Imam Syafi’i menjadi dua
madzhab, yaitu madzhab qadim (fatwa lama) dan madzhab jadid (fatwa baru).
Adapun yang disebut sebagai madzhab qadim adalah fiqh Imam Syafi’i yang ditulis
dan dikatakan ketika ia di Iraq. Sedangkan yang disebut madzhab jadid adalah
apa saja yang ditulis dan dikatakan ketika ia berada di Mesir[9].
Pembedaan
penggunaan term qadim dan jadid sebenarnya hanya untuk membedakan tempat
penulisan dan pengungkapan fatwa. Sementara madzhab Imam Syafi’i sendiri tetap
satu dan tidak dua. Hanya saja kesempurnaan madzhabnya hingga mencapai pada
bentuk final, baru terjadi ketika ia berada di Mesir.
b. Qaul
jadid (Fatwa Baru)
Sedemikian
besarnya pengaruh dan peranan metodologi pemikiran hukum Imam Syafi’i. Meski
pada awalnya, pemikiran beliau sempat dinilai sebagai pemikiran yang
kontradiktif di mata para ulama Mesir ketika itu, namun pada akhirnya sejumlah
besar ulama Mesir sempat dikagumkan oleh kecemerlangan ide-idenya. Keadaan
sepertinya membuat mayoritas ulama Mesir tunduk dan mengaku kebenaran atas
alirannya.
Kedudukan
para ulama Mesir di atas pada prinsipnya memang tidak bisa lepas dari prediksi
dan perhitungan-perhitungan matang dari pemikiran Imam Syafi’i jauh sebelum ia
datang ke Mesir. Begitu keinginan terprogram menuju ke Mesir, ia telah berusaha
untuk mengantongi berbagai informasi tentang situasi dan kondisi Mesir,
utamanya beberapa persoalan yang berkenaan langsung dengan madzhab yang
berkembang di Mesir ketika itu. Al-Rabi’-ulama berkebangsaan Mesir- adalah
orang yang setia untuk berdialog secara intens dengan Imam Syafi’i, khususnya
yang berkaitan dengan beberapa persoalan seperti disebut di atas. Hasil
pembicaraan al-Rabi’ dengan Imam Syafi’i itu berakhir dengan kesimpulan bahwa
Mesir menurut al-Rabi’ telah diwarnai oleh dua corak aliran fiqh yang
masing-masing memiliki perbedaan yang sangat tajam. Pertama; corak yang selalu
condong dan mengikuti aliran Maliki. Kedua; corak yang condong dan setia pada
aliran Hanafi.
Pandangan
senada juga diungkapkan oleh Ahmad Amin al-Mun’im al-Bahy dalam bukunya “Dluha
al-Islam”. Dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa peran madzhab Hanafi dan
Maliki telah melebar luas di wilayah Mesir. Akhirnya ulama-ulama yang ada
ketika itu telah membagi kawasan tersebut menjadi dua kubu aliran besar, yaitu
aliran Hanafi dan aliran Maliki. Mereka yang berpihak pada aliran Hanafi antara
lain adalah Isma’il bin Yasa’ al-Kindi, seorang hakim pertama di Mesir.
Sementara yang berpihak pada aliran Maliki antara lain adalah Abdullah bin
Wahab, yang lama berguru kepada Imam Malik hingga sepeninggalnya. Pada giliran
berikutnya ia kembali ke Mesir dan mengembangkan aliran Maliki tersebut.
Ketika
Imam Syafi’i berada di Mesir, beliau berusaha meninjau ulang beberapa fatwanya
yang diungkpakan di Bagdad. Akibatnya, ada diantara sebagian kitab yang
ditetapkan dan ada sebagian kitab yang dibatalkan. Berawal dari kenyataan ini
timbullah terma qaul qadim dan qaul jadid, dimana qaul qadim adalah pendapat
yang difatwakan di Bagdad dan qaul jadid adalah pendapat yang difatwakan di
Mesir[10].
Berkenaan
dengan fatwa tersebut- baik lisan maupun tulisan- muncullah satu pertanyaan
baru, yaitu: mana di antara kedua fatwa di atas yang lebih utama? Dan mana di
antara kedua fatwa tersebut yang sah digunakan? Nahrawi Abdu al-Salam dalam
kitabnya “al-Imam al-Syafi’i fi madzhabihi al-qadim wa al-jadid” menjelaskan
bahwa pendapat/fatwa baru adalah pendapat yang terpilih. Karena ia adalah fatwa
yang dihasilkan dengan cara yang bersungguh-sungguh dan memerlukan pengerahan
keilmuan yang matang, disamping ia muncul setelah melalui proses pengembaraan
panjang selama 25 tahun.
Pandangan
di atas juga telah diperkuat oleh Mughitsu al-Khalqi. Ia mengatakan bahwa Imam Syafi’i
memiliki dua pendapat, yaitu pendapat lama dan pendapat baru yang telah
menasakh pendapat lama. Dalam pandangan beliau kita dilarang untuk berfatwa
dengan menggunakan pendapat lama, karena ia telah dimansukh. Dengan demikian
makna epistemology qaul qadim dan qaul jadid dianggap telah selesai.
2. Contoh Fenomena Pembaharuan
Pemikiran Hukum Islam Dalam Konteks Qaul Qadim Dan Qaul Jadid
Beberapa
contoh fenomena pembaharuan pemikiran hukum islam dalam konteks qaul qadim dan
qaul jadid imam Syafi’i ini umumnya
mengenai persoalan ibadah dan mu’amalah. Di antara beberapa contoh yang dimaksud
antara lain adalah:
1.
Kulit
yang disamak
Dalam konteks fungsi dan kegunaannya, kulit yang telah disamak,
baik dalam perspektif qaul qadim maupun qaul jadid tidak ditemukan adanya
perbedaan pandangan yang signifikan. Bahkan melalui legitimasi beberapa hadits
yang berkenaan dengan masalah ini, mayoritas ulama bersepakat bahwa semua kulit
binatang yang disamak boleh dimanfaatkan dan difungsikan. Hanya saja perbedaan
pandangan tersebut muncul ketika kondisi kulit yan disamak tersebut
didiskusikan dari segi kesuciannya. Apakah kesucian kulit tersebut bersifat
menyeluruh meliputi bagian luar dan dalamnya, atau suci bagian luarnya saja. Al
Syafi’i berpendapat dalam qaul qadimnya bahwa hanya bagian luarnya saja yang
dianggap suci, sementara bagian dalamnya tetap najis. Hal ini sejalan dengan pendapat imam malik.
Sedangkan dalam qaul jadidnya beliau mengatakan bahwa baik bagian dalam kulit
maupun luarnya adalah sama-sama suci.
2.
Menyapu
khuff yang robek
Menyusap/menyapu khuff yang kuat dan baik dengan beberapa syarat
tertentu, bisa dianggap sebagai pengganti membasuh kaki dalam berwudhu. Secara
umum para ulama dalam konteks ini tidak berbeda pendapat, bahkan telah sepakat.
Perbedaan diantara ulama terjadi ketika di antara ketika mereka ketika
menyusap/ menyapu khuff yang rusak pada bagian yang menutupi telapak kaki.
Dalam hal ini al Syafi’i sendiri memberikan dua fatwa yang berbeda. Dalam qaul
qadim, beliau mengatakan bahwa jika koyaknya sedikit khuff itu dapat disapu,
sebaliknya dalam qaul jadid. Beliau menegaskan bila dari bagian yang koyak itu
terlihat kaki. Maka khuff tersebut tidak boleh disapu lagi, walupun koyaknya
hanya sedikit.
3.
Air
musta’mal
Dalam kaitannya dengan kondisi air yang telah digunakan untuk
bersuci dari hadats, wudhu misalnya, tidak terdapat perbedaan antara qaul qadim
dan qaul jadid. Beliau mengatakan bahwa air tersebut adalah suci (thahir) namun
demikian ketika air yang telah dipakai itu apakah masih berfungsi menyusikan
dapat digunakan sekali lagi? Jawabannya adalah berbeda-beda. Menurut riwayat
yang masyhur kedua qaul diatas telah sepakat bahwa air tersebut tidak bersifat
menucikan lagi. Sementara itu, riwayat dari isa ibn abban (w. 221H) pernah
mengatakan bahwa al syafi’i membolehkan bersuci dengannya. Dengan demikian
berdasarkan riwayat diatas, beberapa tokoh Syafi’iyah menyatakan ada dua
pendapat Syafi’i yang berbeda. Menurut qaul qadim air musta’mal itu tetap suci
dan mensucikan, sedangkan menurut qaul jadid air musta’mal itu hanya suci tapi
tidak mensucikan.
4.
Waktu
shalat magrib
Mengenai waktu masuknya shalat magrib, al Syafi’i dalam dua
qaulnya, tidak terlihat perbedaan, beliau mengatakan bahwa waktu magrib masuk
dimulai sejak terbenamnya matahari. Namun demikian ketika membicarakan masalah
rentang waktu, terdapat perbedaan yang signifikan di antara kedua qaulnya.
Dalam qaul qadim ia menyatakan bahwa waktu magrib itu berlanjut sampai
hilangnya syafaq (senja) yang merah, hal ini sama denagn pendapat abu hanifah.
Sementara dalam qaul jadid al Syafi’i mengatakan bahwa waktu shalat magrib
hanya sebentar sejak terbenamnya matahari.
5.
Hukuman
terhadap para pembangkang zakat
Al Syafi’i dalam kedua qaulnya yaitu qaul qadim dan qaul jadid,
tidak terdapat perbedaan pandangan mengenai kewajiban agniya dalam mengeluarkan
zakatnya. Zakat dalam kedua perspektifnya harus dikeluarkan secara paksa dari
harta orang yang tidak bersedia membayarnya tanpa alasan yang sah, dan orang
tersebut dapat pula dikenakan hukum ta’zir. Lebih ekstrem lagi, menurut qaul
qadim orang yang enggan membayar zakat itu separuh hartanya harus pula diambil
sebagai hukuman. Sementara dalam qaul jadid, ta’zir dalam bentuk pengambilan
paksa terhadap harta seperti itu secara teks tidaklah terjadi.
6.
Hubungan
hutang dengan zakat
Dalam perspektif hukum islam orang yang memiliki nisab yang cukup ,
telah disepakati oleh mayoritas ulama wajib berzakat. Namun demikian ketika
pemilik harta tersebut mempunyai hutang yang telah jatuh tempo (halan) dan
dapat mengurangi hartanya dari nisab, apakah orang tersebut tetap dikenakan
kewajiban zakat? Dalam kaitannya menyikapi permasalahan ini dua fatwa Syafi’i,
qaul qadim dan qaul jadid berbeda pandangan.
Dalam perspektif qaul qadim orang berharta dan memilki hutang tidak
dikenakan zakat. Sebaliknya menurut qaul jadid, orang tersebut tetap tetap
wajib mengeluarkan zakat dan bahwa utangnya sama sekali tidak mempengaruhi
kewajiban zakat. Tanpa membedakan jenis harta dan jenis hutangnya.
3.
Faktor Yang Melatarbelakangi Munculnya Qaul Qadim Dan Qaul Jadid
Lahirnya
qaul qadim dan qaul jadid ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a.
Faktor
Sosial
Secara umum, faktor sosial memiliki andil dalam suatu proses
perubahan, termasuk dalam fenomena qaul qadim Imam Syafi`i hingga berubah
menjadi qaul jadid. Di masa kehidupan Syafi`i, terutama pada masa awal Dinasti
Abbasiyah, kerajaan-kerajaan Islam berada dalam satu paying yang besar, yaitu
daulah Islamiyah yang bertujuan untuk terjadi interaksi jasadiyah dan ruhiyah,
aqliyah dan fikriyah.
Keluasan dan keragaman budaya dan berbagai sikap dari masing-masing
aliran dan kelompok yang ada di kerajaan tersebut, telah berpengaruh terhadap
konteks sosial Dinasti Abbasiyah (baik langsung ataupun tidak)[11].
Dan Dinasti tersebut mengalami perkembangan yang sangat pesat, utamanya pada masa
Khalifah Harun Ar-Rasyid yang dikenal sebagai masa keemasan Islam (The
Golden Age of Islam), di mana saat itu Baghdad menjadi salah satu pusat
ilmu pengetahuan dunia.[12]
Dan Baghdad menjadi saingan satu-satunya bagi Bizantium.[13]
Perhatian Harun Ar-rasyid tidak hanya pada persoalan seni, tetapi
dia adalah orang yang melakukan keterbukaan kepada beberapa pihak, seperti
kepada para ulama, para ahli fiqih dan para pembaca Al-quran. Sehingga, banyak
kalangan yang berhasrat serupa dengan pengembangan keilmuan yang
diprogramkannya saat itu. Jadi, saat itu Kota Baghdad telah menjadi kota yang
terkenal di mata dunia, baik dari segi estetiknya, kebudayaan dan kemegahannya.
Dan pada masa Khalifah Abbasyiyah ada dua system sosial yang
dominan, yaitu system sosial yang berkaitan dengan fenomena fisik dan system sosial
yang berkaitan dengan fenomena non fisik, seperti keilmuan dan kesenian. Itulah fakta kondisi sosial pemerintahan
Abbasyiah yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan Imam Syafi`i. Yaitu,
ketika itu dia hidup di Baghdad-dimana dia menulis kitabnya yang berjudul Ar-risalah-
yang dijadikan sebagai ibu Negara dan
telah mencapai puncak keagungannya. Sehingga, bangkitnya keilmuan
Syafi`I tidak bisa lepas dari kegiatan keilmuan tersebut.[14]
Dan ketika Imam Syafi`I pergi ke Mesir, pola pemikirannya menjadi
berubah dan berbeda dari pola pikir yang telah ditulis dan diungkapkan di Baghdad.
Yaitu lahirnya pemikiran qaul qadim dan qaul jadid salah satunya adalah
dipengaruhi factor sosial, sehingga Imam Syafi`I melakukan upaya aktualisasi
dan kontekstualisasi terhadap hukum yang telah difatwakannya sebelumnya, karena
batas kubu besar aliran fiqih di Mesir saat itu sudah terlihat jelas. Sehingga,
Imam syafi`I berusaha memposisikan dirinya berada di antara dua kubu tersebut,
al-ra`yu dan ahl hadits.
b.
Faktor
Politik
Faktor politik disinyalir juga memiliki andil dalam berbagai
persoalan, termasuk gerakan ilmu pengetahuan, pemikiran Islam dan syariah.
(1)
Politik
Internal
Politik
internal pemerintahan Abbasyiyah pertama, lebih khusus lagi pada masa Imam
As-Syafi`I telah menunjukkan adanya karakter politik yang berbeda jauh jika
dibandingkan dengan karakter politik pemerintahan Dinasti Umayyah. Pemerintahan
Abbasyiah lebih banyak berpegang pada unsure-unsur Persi, sedangkan Dinasti
Bani Ummayah lebih banyak berpegang pada unsure kearaban. Adapun corak
pemerintahan yang dikehendaki pada masa pemerintahan Abbasyiah adalah politik
yang tetap memiliki respon tinggi kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Jadi,
secara umum pemerintahan Abbasyiah telah menampilkan politik yang baik dan
ideal.[15]
(2)
Politik
Eksternal
Kondisi
politik eksternal pemerintahan Abbasyiah, khususnya pada masa kehidupan Imam
Syafi`I, sedikitpun tidak mengalami perkembangan dan kemajuan. Bahkan kekuasaan
pemerintahan Abbasiyah jauh dari pusat kekuasaan pemerintahan-yaitu kota
Baghdad- telah banyak mengalami penyusutan, seperti munculnya pemberontakan di
Armenia.[16]
Pemberontakan-pemberontakkan yang terjadi telah menggagalkan orientasi Harun
Ar-Rosyid untuk untuk memperluas wilayah Abbasyiah.
Pemberontakan-pemberontakan
itu disebabkan oleh:[17]
(a)
Kurang
adanya perhatian pemerintahan Abbasyiah terhadap persoalan-persoalan yang membahayakan
(b)
Semakin
menguatnya peran Persi, padahal semangat kemenangan mereka lebih kecil jika
dibandingkan dengan orang Arab.
(c)
Adanya
kecerobohan sebagian khalifah pada persoalan eksternal pemerintahan
(d)
Kecemburuan
sosial lahir akibat adanya kepemihaan pemerintah yang tidak seimbang antara dua
unsure bangsa yang dominan, yaitu Persi dan Arab
Jika
kondisi politik tersebut dihubungkan dengan kondisi Imam Syafi`I, maka erat
kaitannya, yaitu Imam Syafi`I adalah keturunan Quraisy yang sangat panatis
terhadap Arabisme. Keadaan inilah yang membuatnya terhalang untuk
mensosialisasikan ilmunya yang pemerintah saat itu didominasi oleh unsure
Persi.[18]
Dalam hal ini, dia dituduh sebagai penyebar syiah, karena itu selama 14 tahun
berada di Mekkah, setelah itu dia kembali ke Baghdad dengan menganggap bahwa
panatisme terhadap Persi tidak sekuat dulu dan dia hendak menjadi mujtahid yang
membangun dan memasyarakatkan madzhabnya. Namun, setelah pemerintahan dipegang
Al-Makmun, Syafi`I meninggalkan Baghdad dan pergi ke Mesir, yaitu dengan alasan
bahwa Al-Makmun mendukung paham mu`tazilah serta menentang kaum ahl sunnah dan
ulama hadits.[19]
Namun,
di Mesir Imam Syafi`I merasakan kenyamanan baru dan kota tersebut kondusif
untuk pengembangan madzhab barunya. Dan hal ini tidak menutup kemungkinan dari
adanya materi hukum yang telah fatwakan di Irak banyak yang mengalami
perubahan, walaupun hanya dalam materi furu` saja.
c.
Faktor
Ekonomi
Bagdad berubah menjadi kota besar dan menjadi pusat metropolitan,
yang mengakibatkan perkembangan pada meluasnya perkampungan militer abbasyiah
dan munculnya pemukiman al-karkh. Inilah yang menjadi penyebab
kreatifitas perekonomian.
d.
Faktor
Budaya
Faktor kebudayaan dan adat istiadat sangat mempengaruhi terhadap pertumbuhan
dan perubahan hukum Islam. Setelah banyaknya negara-negara yang dikuasai oleh
Islam, padahal negara-negara yang dikuasai tersebut telah memiliki kebudayaan-kebudayaan
dan adat-istiadat masing-masing yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja,
kebudayaan dan adat-istiadat mereka telah menyatu. Oleh karena itu asimilasi (percampuran)
antara kebudayaan (adat istiadat) setempat dengan kebudayaan Islam sering
terjadi, sehingga menimbulkan akibat lain dari hukum Islam itu sendiri.[20]
Selama 18 tahun Imam Syafi`I (mulai dari usia dua tahun) dia
tinggal di Mekkah. Kota tersebut kental dengan kearabannya, sementara
pemerintah Abbasyiah saat itu didominasi oleh unsure Persia. Sebelum kedatangan
Islam, Persi sebenarnya sudah merupakan pemerintahan yang besar. Dan dengan
terbukanya ajaran Islam yang luas, menyebabkan budaya Arab berhadapan langsung
dengan budaya asing, salah satunya melalui penerjemahan.[21] Kompleksitas
dan pluralitas budaya, baik langsung atau tidak, banyak berpengaruh bagi
kematangan daya pemikiran Imam Syafi`i. kematangan daya nalarnya yang telah
lama terbangun oleh pengalaman pengembaraan selama hidupnya, ditambah lagi
dengan berbagai budaya yang telah berinteraksi, membuatnya bertambah kritis dan
dinamis. Dan perubahan hukum yang terjadi ketika Imam Syafi`I berada di Iraq dan
Mesir merupakan bukti akan kesempurnaan ilmu dan pengalamannya. Karena di Mesir
ia menemukan dalil yang lebih pasti, yaitu akibat dari ragam budaya pemikiran
yang berkembang di Mesir.[22]
e.
Faktor
Geografis
Faktor geografi sangat menentukan terhadap perkembangan dan
pembentukan hukum Islam. Faktor geografis yang sangat menentukan tersebut
adalah iklim dan perkembangan daerah itu sendiri. Seperti telah diketahui iklim
di Hijaz berbeda dengan iklim di Irak dan berbeda pula dengan iklim yang ada di
Mesir, sehingga melahirkan fatwa Imam Syafi’i yang berbeda. Adanya qaul qadim
dengan qaul jadid, membuktikan adanya berbedanya iklim dan geografi.
Ulama ahlu ra’yi dan ahlu hadits berkembang dalam dua wilayah geografis
yang berbeda. Ulama ahlu rayi dengan pelopornya Imam Abu Hanifah berkembang
di kota Kufah dan Bagdad yang metropolitan, sehingga harus menghadapi secara
rasional sejumlah persoalan baru yang muncul akibat kompleksitas kehidupan
kota, maka Imam Abu Hanifah dan para muridnya menulis kitab-kitab fiqh yang
lebih mendasarkan kepada ra’yu. Sebaliknya Imam Malik bin Anas yang hidup di
Madinah yang tingkat kompleksitas hidup masyarakatnya lebih sederhana, ditambah
kenyataan banyaknya hadits-hadits yang beredar di kota ini, cendrung banyak
menggunakan hadits ketimbang rasio atau akal”. Hal ini menunjukan bahwa berbeda
geografis kota akan menentukan terhadap pembentukan hukum. Kota- kota yang
secara geografis dipengaruhi oleh ahli filsafat akan berbeda dalam pembentukan
hukum disbanding dengan kota-kota yang secara geografis dipenuhi oleh ahli-ahli
tasauf. Kota-kota yang tingkat kompleksitasnya lebih tinggi akan berbeda pula
pengaruh hukumnya dengan kota-kota yang tidak ada kompleksitasnya. Kota-kota
yang modern akan berbeda pula pengaruh hukumnya dengan kota-kota yang sederhana
dan tertutup. Artinya tingkat urbanisasi disuatu daerah akan menentukan dalam
pembentukan hukum pada daerah itu sendiri.[23]
Mesir secara geografis lebih subur dibandingkan dengan Irak, karena
adanya Sungai Nil yang selalu meluap, di Mesir air lebih mudah didapatkan jika
dibandingkan dengan di Irak. Oleh karena itu dalam masalah yang ada kaitannya
dengan air (iklim), seperti thaharah, berwudlu, shalat dalam keadaan tidak ada
air dan lain sebagainya, Imam Syafi’i telah mengeluarkan fatwa yang berbeda
dengan fatwa sebelumnya ketika di Irak.
Dengan demikian pada intinya para imam mujtahid sangat dipengaruhi
oleh keadaan iklim daerah yang ia tempati. Daerah yang panas akan berbeda
dengan daerah yang dingin, daerah yang banyak air akan berbeda dengan daerah
kering. Begitu juga akan dipengaruhi oleh kemajemukan kota dan kemajuan kota
tempat imam mujtahid tinggal. Semakin banyaknya suku bangsa yang hidup disuatu
kota akan berbeda dengan kota yang hanya dihuni oleh satu suku bangsa saja,
kota yang lebih modern akan berbeda pula dalam menentukan hukumnya bila
dibandingkan dengan kota yang sederhana dan tertinggal.
f.
Faktor
Ilmu Pengetahuan
Faktor Ilmu Pengetahuan bisa mempengaruhi hasil ijtihad para imam
mujtahid dalam menggali hukum dan menentukan hukum. Sebagaimana telah
dijelaskan di atas, bahwa Imam Syafi’i seorang yang ahli hadits, karena beliau
belajar hadits kepada Imam Malik bin Anas di Madinah, Imam Syafi’i juga seorang
ahli ra’yu, karena beliau belajar kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhamamd bin
Hasan murid Imam Abu Hanifah di Irak. Dengan faktor ilmu pengetahuan Imam Syafi’i
tersebut, maka hasil ijtihad Imam Syafi’i tidak sama dengan gurunya yang ahli
hadits maupun dengan ahli ra’yu. Karena pengetahuan Imam Syafi’i sangat berbeda
dengan gurunya yang ada di Madinah sebagai ahli hadits ataupun gurunya yang ada
di Irak sebagai ahli ra’yu, tetapi Imam Syafi’i menggabungkan kedua pendapat
gurunya itu menjadi fatwanya sendiri. Setelah Imam Syafi’i tinggal di Mesir,
pengalaman Imam Syafi’i semakin bertambah dan Imam Syafi’i tetap bertukan
fikiran kepada ulama-ulama Mesir. Sehingga setelah berada di Mesir Imam Syafi’i
menemukan ada dalil-dalil yang lebih kuat dan lebih shahih bila dibandingkan
dengan hasil ijtihadnya ketika masih berada di Irak.[24]
Oleh karena itu Imam Syafi’i memandang perlu untuk meluruskan dan meralat kembali
fatwa-fatwa beliau ketika masih berada di Irak, karena menganggap fatwa-fatwa beliau
yang dikeluarkan di Irak tidak didukung dengan dalil yang lebih kuat.
4.
Relevansi Qaul Qadim Dan Qaul Jadid Pada Pembaharuan Pemikiran Islam
Terjadinya
pergeseran paradigma pemahaman keagamaan dan perilaku keberagaman al-Syafi dari
qaul qadim ke qaul jadid, sebagai dampak dari penalaran kritisnya telah
mengilhami munculnya model pemahaman keagamaan dan perilaku keberagaman umat
Islam bercorak kritis-transformatif. Pemahaman keagamaan yang tidak saja
bercita-cita memahami dari dalam dunia makna yang telah berhasil dikonstruk
oleh beberapa ulama klasik, lebih dari itu ingin mengetahui lebih jauh karir
sosial dan proses sosial yang melingkupi terbentuknya nalar keagamaan mereka.
Tidak hanya itu,
pola pergeseran pemahaman keagamaan di atas juga menginspirasikan bahwa watak
khas semua pemikiran hukum, tidaklah hampa dari ruang sejarah, karena itu ia
tidak kebal kritik (qabilun li al-nuqas). Dengan demikian terjadinya perubahan
madzhab al-Syafi’i berarti pula bahwa watak pemikiran hukum Islam pada
hakikatnya bersifat dinamis, inklusif, dan kolaboratif. Mengingat, pemikiran
hukum al-Syafi’i melalui proses ijtihadinya tidak bisa lepas dari kebenaran
subjektif (dzanni) dan bukan kebenaran final (qath’i). watak inklusifitas
pemikiran hukum Islam itu bisa dilihat dalam beberapa permasalahan hukum
sebagaimana berikut[25]:
a. Adanya
dinamisasi perkembangan fatwa al-Syafi’i yang terjadi di Iraq maupun yang ada
di Mesir.
b. Munculnya
tradisi penalaran hukum yang kritis dikalangan murid-murid al-Syafi’i yang
ditandai dengan komitmennya untuk meninggalkan tradisi taqlid. Sebaliknya,
perintah berijtihad untuk memeriksa kembali dan meninggalkan fatwanya jika
tidak sesuai dengan al-Sunnah adalah tradisi intelektual yang berhasil dibangun
ketika itu.
c. Dinamisasi
pemikiran hukum yang sangat terbuka itu tidak saja menyentuh ranah ontologis
mengenai konsep-konsep teoretik, lebih dari itu kerangka epistemologinyapun
tampak telah disiapkan secara sistematis dan filosofis, yang karena itulah
beliau disebut sebagai peletak dasar metodologi hukum Islam. Dengan demikian
secara teknis beliau berhasil menyusun dan menata kaidah-kaidah ushul al-fiqh
sebagai pedoman dalam melakukan ijtihad.
d. Para
pengikut madzhab al-Syafi’i tidak segan-segan melakukan kajian intensif dan
kajian ulang menyangkut berbagai kaidah-kaidah ushul al-fiqh al-Syafi’i yang
berhasil dikonstruk pada masanya. Hal ini menggambarkan adanya keterbukaan pola
pemikiran hukum di antara mereka, sekaligus kesadaran bahwa dalam setiap produk
pemikiran hukum Islam meniscayakan untuk ditinjau kembali sesuai tuntutan
situasional dan kondisional yang melingkupinya.
e. Kerja
intelektual berupa ijtihad dan penelitian ulang terhadap fatwa al-Syafi’i,
tidak sedikit telah menghasilkan temuan-temuan berupa fatwa baru.
f. Adanya
perbedaaan jendela pandang dikalangan Syafi’iyah dalam memaknai produk-produk
fatwa al-Syafi’i, kaitannya dalam melakukan kerja-kerja ilmiyah, yaitu kegiatan
mengambil kesimpulan atau hikmah hukun.
g. Munculnya
penyimpangan fatwa di kalangan pengikut madzhab Syafi’i dari fatwa al-Syafi’i,
setelah melalui upaya pengerahan penalaran ijtihadnya. Tentu saja ini semua
karena pengaruh karir sosial dan proses sosial yang berbeda yang melingkupi
pola pemikiran mereka.
h. Adanya
fleksibilitas dan kebebasan dalam memilih keputusan hukum yang ada.
i. Fenomena
difungsikannya kembali beberapa fatwa qaul qadim al-Syafi’i oleh para pengikut
madzhabnya.
j. Munculnya
anjuran ulama al-Syafi’iyah mengenai tidak dibenarkannya taqlid kepada mujtahid
yang telah wafat.
k. Adanya
pandangan di kalangan ulama al-Syafi’iyah bahwa penyimpangan fatwa dengan
pertimbangan kemaslahatan telah diakui sebagai kaidah baru.
Semangat
keterbukaan pemikiran hukum Islam al-Syafi’i sebagaimana yang berhasil
dielaborasi di atas menggambarkan bahwa watak pemikiran hukum dari zaman ke
zaman, baik produk pemikiran hukum al-Syafi’i, Syafi’iyah maupun produk
pemikiran hukum secara umum meniscayakan adanya proses kompromistik dengan
semangat zaman. Tegasnya, setiap fenomena hukum membutuhkan adanya fatwa dan
menuntut kearifan dalam berijtihad sesuai dengan tuntutan situasinya. Dengan
kata lain ijtihad terdahulu yang dilakukan sehubungan dengan kasus tertentu,
pada prinsipnya tidak berlaku untuk kasus serupa pada kondisi berbeda[26].
Untuk itu jika
terdapat pandangan yang mengatakan bahwa kodifikasi hukum Islam pada hakikatnya
telah mencapai kepastian hukum, adalah pandangan yang tidak sesuai dengan
prinsip madzhab al-Syafi’i. idealitas dari prinsip madzhab ini, bahwa seorang
hakim seyogyanyan adalah seorang mujtahid, dan setiap mujtahid tidak
diperkenankan untuk bertaqlid. Dengan demikian bagi seorang hakim tidak diperkenankan
untuk bertaqlid, yaitu dengan mengikuti hasil pandangan orang lain, utamanya
hasil pendapat yang telah dikodifikasi.
Tradisi
berijtihad di kalangan ulama madzhab al-Syafi’i terjadi secara bertahap. Jika
ijtihad mutlak belum dapat dicapai, para ulama madzhab al-Syafi’i akan dapat
memberikan jawaban-jawaban melalui ijtihad muqayyad, yaitu dengan melakukan
tafri’, menganalogikan hukum yang telah ada dalam madzhab kepada masalah-masalah
yang dihadapi berdasarkan jenis dan sifatnya. Mengingat besarnya perbendaharaan
fatwa dalam madzhab ini, diharapkan masalah-masalah baru dapat dicarikan
rujukannya pada kajian yang telah ada.
Lebih dari itu
kerja intelektual yang sangat sederhanapun bagi ulama al-Syafi’iyah, suatu
contoh sekedar memiliki kemampuan memilih dan memilah (tarjih) pun, relatif
banyak masalah yang dapat diambil jawabannya dari perbendaharaan yang luas itu.
Lebih sederhana lagi melalaui kasus-kasus personal saja ulama dalam madzhab
ini, berhasil melakukan kajian jauh ke depan.
Sementatra itu
bagi masyarakat muslim yang tidak memiliki sekaligus menguasai berbagai piranti
metodologis berupa penguasaan ilmu ushul al-fiqh, untuk menelaah teks
normative, maka diperkenankan untuk mengikuti (taqlid) dari hasil tarjih maupun
istimbath para ulama yang menguasai ilmu-ilmu istimbath hukum. Para ulama dalam
kategori mujtahid tarjih dalam madzhab ini selalu menyiapkan kitab-kitab “baku”
yang terus diperbaharui dengan fatwa-fatwa terkini.
Dengan demikian bisa
disimpulkan bahwa sejauh perkembangan pembaruan madzhabnya, imam Syafi’i bisa
dianggap sebagai pemuka pembaruan dalam pemikiran hukum Islam. Atas dasar itu
tidaklah beralasan jika Imam Syafi’i dianggap sebagai sosok yang berperan mempengaruhi
kemandekan pemikiran umat Islam, lebih-lebih menghambatnya. Sebaliknya ia
adalah ulama yang sangat mendukung proses kea rah dinamisasi pembaruan hukum
Islam. Hal ini bisa dilihat bahwa peralihan dari qaul qadim ke qaul jadid dalam
madzhab ini tidak hanya terjadi pada fatwa-fatwa hukum sebagai hasil ijtihad,
melainkan juga terjadi pada sebagian kaidah-kaidah ijtihad itu sendiri.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan
pada bab 2 diatas tentang “pendekatan sosiologis; beberapa faktor sosio-historis yang
melatarbelakangi munculnya perubahan dari qaul qadim ke qaul jadid imam
syafi`i” dapat kita ambil beberapa kesimpulan berikut:
1. Imam Syafi`I dilahirkan pada tahun 150 H. Pada tahun itu
pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat
bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya. Belum
lagi beliau menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil
Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Beliau telah menghafal
Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab
Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa
langsung dengan Imam Malik di Madinah. Beliau wafat pada hari kamis di awal bulan
sya’ban tahun 204 H dan umur beliau sekita 54 tahun.
2.
Apa saja yang
dikatakan dan ditulis Imam Syafi’i ketika berada di Iraq dinamakan aliran lama,
sedangkan yang dikatakan dan ditulis di Mesir dinamakan dengan aliran baru.
Pandangan senada juga dikemukakan oleh Ahmad Amin Abd al-Mun’im al-Bahy,
menurutnya ulama yang telah membagi fuqh Imam Syafi’i menjadi dua madzhab,
yaitu madzhab qadim (fatwa lama) dan madzhab jadid (fatwa baru). Adapun yang
disebut sebagai madzhab qadim adalah fiqh Imam Syafi’i yang ditulis dan
dikatakan ketika ia di Iraq. Sedangkan yang disebut madzhab jadid adalah apa
saja yang ditulis dan dikatakan ketika ia berada di Mesir.
3.
Beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya qaul qadim dan qaul jadid adalah faktor social, faktor politik (baik Internal maupun eksternal), Faktor
Ekonomi, Faktor Budaya, Faktor Geografis Faktor Ilmu Pengetahuan
B.
Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini tidak luput
dari kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, baik masukan maupun kritikan dari
teman-teman, kami harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Untuk
memahami lebih dalam tentang pembahasan ini kami sarankan untuk membaca buku
karangan Bapak Dr. H. Roibin, M. A dengan judul Sosiologi Hukum Islam:
Tela’ah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i yang diterbitkan oleh UIN
Malang Press.
[4] ibid
[5] op.cit.
Http//zaenuri.wordpress.com
[6] op.cit.
Http://dakwahkampus.com
[7] Roibin, Sosiologi
Hukum Islam: Tela’ah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i, (Malang: UIN
Maliki Press, 2008). h. 133-134
[8] Ibid, h.
125
[9] Ibid, h.
126-127
[10] Ibid, 134
[11] ibid,
h. 172-175
[12]
http://id.wikipedia.org/wiki/Harun_Ar-Rasyid
[13] Philip K,
Hitti. History Of The Arabs. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta:. 2002). h.
375
[14] A. Salabi, Sejarah
Kebudayaan Islam 3 (Jakarta: Pustaka al-Husna. 1993) h. 112
[15] Roibin. op.cit,
h. 181-182
[16] ibid
[17] ibid.
h. 184
[18] ibid.
h. 186
[19] ibid.
h. 187-188
[20] Soleman Soleh,
M. H. Imam Syafei’i: Orang Pertama sebagai Mujahid Kotemporer (PDF). h.5
[21] Roibin, op.cit.
h 197-198
[22] ibid. h
199
[24] Soleman, Sholeh
M.H. Imam Syafi’i Orang Pertama Sebagai Mujtahid Kontemporer (PDF)
[25] Roibin. op.cit,
h. 201-203
[26] ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks