Jumat, 17 Januari 2014

“PENDEKATAN SOSIOLOGIS; BEBERAPA FAKTOR SOSIO-HISTORIS YANG MELATARBELAKANGI MUNCULNYA PERUBAHAN DARI QAUL QADIM KE QAUL JADID IMAM SYAFI`I”


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
al-Quran sebagai kitab umat Islam yang jika dikaitkan dengan hukum Islam, maka didalamnya mengandung nash-nash yang bernilai qath`i dan nash-nash yang bernilai dzanni. Dalam penafsiran dan pengambilan hukum yang berasal dari nash-nash dzanni, ulama seringkali berbeda pendapat, meskipun perbedaan itu pada dasarnya adalah untuk mencari kemaslahatan umat. Sehingga, para ulama terdorong untuk melakukan ijtihad dengan sungguh-sungguh untuk menjabarkan ayat Al-quran ataupun dalil hadits yang bersifat dzanni tersebut agar tetap sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Salah satu dari ulama yang telah berijtihad untuk menggali hukum dan telah menghasilkan karya-karya dalam fiqih adalah Imam Syafi`i. Dan hasil ijtihad Imam Syafi`i adalah berbeda ketika berada di Irak Dan mesir, hal itu tertuang dalam qaul qadim dan qaul jadid.

B.     Rumusan Masalah
1.      Siapakah Imam Syafi`i?
2.      Apa makna ontologis qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i?
3.      Apa fator-faktor yang melatarbelakangi munculnya qaul qadim dan qaul jadid?

C.    Tujuan
1.      Untuk  mengetahui biografi Imam Syafi`i
2.      Untuk mengetahui makna ontologis qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i
3.      Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya qaul qadim dan qaul jadid?







BAB II
PEMBAHASAN

“PENDEKATAN SOSIOLOGIS; BEBERAPA FAKTOR SOSIO-HISTORIS YANG MELATARBELAKANGI MUNCULNYA PERUBAHAN DARI QAUL QADIM KE QAUL JADID IMAM SYAFI`I”

A.  Biografi Imam Syafi`i
1.    Nama Dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib. Bapak beliau Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi’i), menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shighar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraisy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.[1]
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi’i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i bukanlah asli keturunan Quraisy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja. Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi’i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
2.    Waktu Dan Tempat Kelahiran
Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya. Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.[2]
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
3.    Pertumbuhan Dan Pengembaran Dalam mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi’i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru. Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu. Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.[3]
4.    Keteguhan Hati Dalam Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits. Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi’i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih. Imam Syafi ‘i berkata: “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya”. Al-Mazani berkata: “Merupakan madzhab Imam Syafi’i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam”.[4] Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan al-Quran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
5.    Wafat
Beliau wafat pada hari Kamis di awal bulan Sya’ban tahun 204 H dan umur beliau sekita 54 tahun (Siyar 10/76). Meski Allah memberi masa hidup beliau di dunia 54 tahun, menurut anggapan manusia, umur yang demikian termasuk masih muda. Walau demikian, keberkahan dan manfaatnya dirasakan kaum muslimin di seantero belahan dunia, hingga para ulama mengatakan, “Imam Asy-Syafi`i diberi umur pendek, namun Allah menggabungkan kecerdasannya dengan umurnya yang pendek”.[5]
6.    Karangan-karangan
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.[6] Selama beliau di Mesir, dalam waktu yang relatif singkat beliau berhasil menerbitkan beberapa karyanya, baik itu dalam ilmu ushul fiqh atau dalam ilmu fiqh itu sendiri. Dalam ilmu ushul fiqh, karyanya antara lain:
1.    al-Risalah
2.    Ahkami al-Qur’an
3.    Ikhtilafu al-Hadits
4.    Ibthalu al-istihsan
5.    Jami’u al-Ilmi
6.    Al-Qiyas
Sedangkan dalam ilmu fiqh, beberapa karyanya antara lain:
1.    Al-Umm
2.    Al-Musnad
3.    Mukhtasar al-Muzani
4.    Harmalh
5.    Jami’u al-Muzani al-Kabir
6.    Jami’u al-Muzani al-Saghir
7.    Istiqbalu al-Qiblatain
8.    Mukhtasar al-Buwaiti
9.    Al-Amaali[7]


B.  Seputar Tentang Qaul Qadim Dan Qaul Jadid
1.    Makna Ontologis Qaul Qadim Dan Qaul Jadid Imam Syafi’i
a.    Qaul Qadim (Fatwa Lama)
Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i setelah ilmunya tinggi dan pemahamannya tajam, hingga sampai ke derajat mujtahid mutlak, terdorong memiliki inspirasi baru untuk berfatwa sendiri. Ia termotifasi untuk mengeluarkan hukum syar’i dari al-Qur’an dan al-Hadits sesuai dengan ijtihadnya, yang terlepas dari madzhab-madzhab gurunya, yakni Imam Hanafi dan Imam Maliki[8].
Keinginan sepertinya mulai tampak tepatnya pada tahun 198 H di Baghdad, yaitu setelah usianya genap 48 tahun. Utamanya lagi sesudah merasakan masa belajar kurang lebih 40 tahun. Pada mulanya beliau mengarang kitab ushul al-fiqh di Iraq yang diberi nama al-Risalah (surat kiriman). Kitab ini ditulis atas permintaan Abdurrahman bin al-Mahdi di Makkah, yang memesan kepada Imam Syafi’i agar menerangkan satu kitab yang mencakup ilmu tentang arti al-Qur’an dan hal ihwal al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas dan nasakh dan mansukh. Setelah selesai ditulis oleh Imam Syafi’i dan disalin oleh murid-muridnya, berikutnya dikirim kepada Abdurrahman bin al-Mahdi.
Berkenaan dengan kitab al-Risalah yang ditulisnya, Fakhru Rozi dalam kitab al-Manaqib al-Syafi’i menilai dan mengatakan bahwa umat Islam sebelum Imam Syafi’i membicarakan fiqh, untuk sekedar membantah dan mengambil dalil-dalil saja belumlah ditemukan peraturan umum yang bisa dijadikan pedoman dalam menerima dan menolak dalil itu. Namun begitu Imam Syafi’i menulis dengan ilmu-ilmu barunya, yang lebih populer dengan sebutan kitab ushul fiqh dalam kitab al-Risalah,- dimana ia telah meletakkan di dalamnya dasar-dasar dan peraturan-peraturan umum-, maka sejak itulah banyak pihak yang mampu menyelidiki derajat dalil-dalil syari’at Islam.
Dengan demikian jelaslah apa yang disebut madzhab (aliran) lama dan aliran baru. Apa saja yang dikatakan dan ditulis Imam Syafi’i ketika berada di Iraq dinamakan aliran lama, sedangkan yang dikatakan dan ditulis di Mesir dinamakan dengan aliran baru. Pandangan senada juga dikemukakan oleh Ahmad Amin Abd al-Mun’im al-Bahy, menurutnya ulama yang telah membagi fuqh Imam Syafi’i menjadi dua madzhab, yaitu madzhab qadim (fatwa lama) dan madzhab jadid (fatwa baru). Adapun yang disebut sebagai madzhab qadim adalah fiqh Imam Syafi’i yang ditulis dan dikatakan ketika ia di Iraq. Sedangkan yang disebut madzhab jadid adalah apa saja yang ditulis dan dikatakan ketika ia berada di Mesir[9].
Pembedaan penggunaan term qadim dan jadid sebenarnya hanya untuk membedakan tempat penulisan dan pengungkapan fatwa. Sementara madzhab Imam Syafi’i sendiri tetap satu dan tidak dua. Hanya saja kesempurnaan madzhabnya hingga mencapai pada bentuk final, baru terjadi ketika ia berada di Mesir.
b.    Qaul jadid (Fatwa Baru)
Sedemikian besarnya pengaruh dan peranan metodologi pemikiran hukum Imam Syafi’i. Meski pada awalnya, pemikiran beliau sempat dinilai sebagai pemikiran yang kontradiktif di mata para ulama Mesir ketika itu, namun pada akhirnya sejumlah besar ulama Mesir sempat dikagumkan oleh kecemerlangan ide-idenya. Keadaan sepertinya membuat mayoritas ulama Mesir tunduk dan mengaku kebenaran atas alirannya.
Kedudukan para ulama Mesir di atas pada prinsipnya memang tidak bisa lepas dari prediksi dan perhitungan-perhitungan matang dari pemikiran Imam Syafi’i jauh sebelum ia datang ke Mesir. Begitu keinginan terprogram menuju ke Mesir, ia telah berusaha untuk mengantongi berbagai informasi tentang situasi dan kondisi Mesir, utamanya beberapa persoalan yang berkenaan langsung dengan madzhab yang berkembang di Mesir ketika itu. Al-Rabi’-ulama berkebangsaan Mesir- adalah orang yang setia untuk berdialog secara intens dengan Imam Syafi’i, khususnya yang berkaitan dengan beberapa persoalan seperti disebut di atas. Hasil pembicaraan al-Rabi’ dengan Imam Syafi’i itu berakhir dengan kesimpulan bahwa Mesir menurut al-Rabi’ telah diwarnai oleh dua corak aliran fiqh yang masing-masing memiliki perbedaan yang sangat tajam. Pertama; corak yang selalu condong dan mengikuti aliran Maliki. Kedua; corak yang condong dan setia pada aliran Hanafi.
Pandangan senada juga diungkapkan oleh Ahmad Amin al-Mun’im al-Bahy dalam bukunya “Dluha al-Islam”. Dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa peran madzhab Hanafi dan Maliki telah melebar luas di wilayah Mesir. Akhirnya ulama-ulama yang ada ketika itu telah membagi kawasan tersebut menjadi dua kubu aliran besar, yaitu aliran Hanafi dan aliran Maliki. Mereka yang berpihak pada aliran Hanafi antara lain adalah Isma’il bin Yasa’ al-Kindi, seorang hakim pertama di Mesir. Sementara yang berpihak pada aliran Maliki antara lain adalah Abdullah bin Wahab, yang lama berguru kepada Imam Malik hingga sepeninggalnya. Pada giliran berikutnya ia kembali ke Mesir dan mengembangkan aliran Maliki tersebut.
Ketika Imam Syafi’i berada di Mesir, beliau berusaha meninjau ulang beberapa fatwanya yang diungkpakan di Bagdad. Akibatnya, ada diantara sebagian kitab yang ditetapkan dan ada sebagian kitab yang dibatalkan. Berawal dari kenyataan ini timbullah terma qaul qadim dan qaul jadid, dimana qaul qadim adalah pendapat yang difatwakan di Bagdad dan qaul jadid adalah pendapat yang difatwakan di Mesir[10].
Berkenaan dengan fatwa tersebut- baik lisan maupun tulisan- muncullah satu pertanyaan baru, yaitu: mana di antara kedua fatwa di atas yang lebih utama? Dan mana di antara kedua fatwa tersebut yang sah digunakan? Nahrawi Abdu al-Salam dalam kitabnya “al-Imam al-Syafi’i fi madzhabihi al-qadim wa al-jadid” menjelaskan bahwa pendapat/fatwa baru adalah pendapat yang terpilih. Karena ia adalah fatwa yang dihasilkan dengan cara yang bersungguh-sungguh dan memerlukan pengerahan keilmuan yang matang, disamping ia muncul setelah melalui proses pengembaraan panjang selama 25 tahun.
Pandangan di atas juga telah diperkuat oleh Mughitsu al-Khalqi. Ia mengatakan bahwa Imam Syafi’i memiliki dua pendapat, yaitu pendapat lama dan pendapat baru yang telah menasakh pendapat lama. Dalam pandangan beliau kita dilarang untuk berfatwa dengan menggunakan pendapat lama, karena ia telah dimansukh. Dengan demikian makna epistemology qaul qadim dan qaul jadid dianggap telah selesai.

2.    Contoh Fenomena Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Dalam Konteks Qaul Qadim Dan Qaul Jadid
Beberapa contoh fenomena pembaharuan pemikiran hukum islam dalam konteks qaul qadim dan qaul jadid  imam Syafi’i ini umumnya mengenai persoalan ibadah dan mu’amalah. Di antara beberapa contoh yang dimaksud antara lain adalah:
1.    Kulit yang disamak
Dalam konteks fungsi dan kegunaannya, kulit yang telah disamak, baik dalam perspektif qaul qadim maupun qaul jadid tidak ditemukan adanya perbedaan pandangan yang signifikan. Bahkan melalui legitimasi beberapa hadits yang berkenaan dengan masalah ini, mayoritas ulama bersepakat bahwa semua kulit binatang yang disamak boleh dimanfaatkan dan difungsikan. Hanya saja perbedaan pandangan tersebut muncul ketika kondisi kulit yan disamak tersebut didiskusikan dari segi kesuciannya. Apakah kesucian kulit tersebut bersifat menyeluruh meliputi bagian luar dan dalamnya, atau suci bagian luarnya saja. Al Syafi’i berpendapat dalam qaul qadimnya bahwa hanya bagian luarnya saja yang dianggap suci, sementara bagian dalamnya tetap najis.  Hal ini sejalan dengan pendapat imam malik. Sedangkan dalam qaul jadidnya beliau mengatakan bahwa baik bagian dalam kulit maupun luarnya adalah sama-sama suci.
2.    Menyapu khuff yang robek
Menyusap/menyapu khuff yang kuat dan baik dengan beberapa syarat tertentu, bisa dianggap sebagai pengganti membasuh kaki dalam berwudhu. Secara umum para ulama dalam konteks ini tidak berbeda pendapat, bahkan telah sepakat. Perbedaan diantara ulama terjadi ketika di antara ketika mereka ketika menyusap/ menyapu khuff yang rusak pada bagian yang menutupi telapak kaki. Dalam hal ini al Syafi’i sendiri memberikan dua fatwa yang berbeda. Dalam qaul qadim, beliau mengatakan bahwa jika koyaknya sedikit khuff itu dapat disapu, sebaliknya dalam qaul jadid. Beliau menegaskan bila dari bagian yang koyak itu terlihat kaki. Maka khuff tersebut tidak boleh disapu lagi, walupun koyaknya hanya sedikit.
3.    Air musta’mal
Dalam kaitannya dengan kondisi air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats, wudhu misalnya, tidak terdapat perbedaan antara qaul qadim dan qaul jadid. Beliau mengatakan bahwa air tersebut adalah suci (thahir) namun demikian ketika air yang telah dipakai itu apakah masih berfungsi menyusikan dapat digunakan sekali lagi? Jawabannya adalah berbeda-beda. Menurut riwayat yang masyhur kedua qaul diatas telah sepakat bahwa air tersebut tidak bersifat menucikan lagi. Sementara itu, riwayat dari isa ibn abban (w. 221H) pernah mengatakan bahwa al syafi’i membolehkan bersuci dengannya. Dengan demikian berdasarkan riwayat diatas, beberapa tokoh Syafi’iyah menyatakan ada dua pendapat Syafi’i yang berbeda. Menurut qaul qadim air musta’mal itu tetap suci dan mensucikan, sedangkan menurut qaul jadid air musta’mal itu hanya suci tapi tidak mensucikan.
4.    Waktu shalat magrib
Mengenai waktu masuknya shalat magrib, al Syafi’i dalam dua qaulnya, tidak terlihat perbedaan, beliau mengatakan bahwa waktu magrib masuk dimulai sejak terbenamnya matahari. Namun demikian ketika membicarakan masalah rentang waktu, terdapat perbedaan yang signifikan di antara kedua qaulnya. Dalam qaul qadim ia menyatakan bahwa waktu magrib itu berlanjut sampai hilangnya syafaq (senja) yang merah, hal ini sama denagn pendapat abu hanifah. Sementara dalam qaul jadid al Syafi’i mengatakan bahwa waktu shalat magrib hanya sebentar sejak terbenamnya matahari.
5.    Hukuman terhadap para pembangkang zakat
Al Syafi’i dalam kedua qaulnya yaitu qaul qadim dan qaul jadid, tidak terdapat perbedaan pandangan mengenai kewajiban agniya dalam mengeluarkan zakatnya. Zakat dalam kedua perspektifnya harus dikeluarkan secara paksa dari harta orang yang tidak bersedia membayarnya tanpa alasan yang sah, dan orang tersebut dapat pula dikenakan hukum ta’zir. Lebih ekstrem lagi, menurut qaul qadim orang yang enggan membayar zakat itu separuh hartanya harus pula diambil sebagai hukuman. Sementara dalam qaul jadid, ta’zir dalam bentuk pengambilan paksa terhadap harta seperti itu secara teks tidaklah terjadi.
6.    Hubungan hutang dengan zakat
Dalam perspektif hukum islam orang yang memiliki nisab yang cukup , telah disepakati oleh mayoritas ulama wajib berzakat. Namun demikian ketika pemilik harta tersebut mempunyai hutang yang telah jatuh tempo (halan) dan dapat mengurangi hartanya dari nisab, apakah orang tersebut tetap dikenakan kewajiban zakat? Dalam kaitannya menyikapi permasalahan ini dua fatwa Syafi’i, qaul qadim dan qaul jadid berbeda pandangan.
Dalam perspektif qaul qadim orang berharta dan memilki hutang tidak dikenakan zakat. Sebaliknya menurut qaul jadid, orang tersebut tetap tetap wajib mengeluarkan zakat dan bahwa utangnya sama sekali tidak mempengaruhi kewajiban zakat. Tanpa membedakan jenis harta dan jenis hutangnya.

3.    Faktor Yang Melatarbelakangi Munculnya Qaul Qadim Dan Qaul Jadid
Lahirnya qaul qadim dan qaul jadid ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a.    Faktor Sosial
Secara umum, faktor sosial memiliki andil dalam suatu proses perubahan, termasuk dalam fenomena qaul qadim Imam Syafi`i hingga berubah menjadi qaul jadid. Di masa kehidupan Syafi`i, terutama pada masa awal Dinasti Abbasiyah, kerajaan-kerajaan Islam berada dalam satu paying yang besar, yaitu daulah Islamiyah yang bertujuan untuk terjadi interaksi jasadiyah dan ruhiyah, aqliyah dan fikriyah.
Keluasan dan keragaman budaya dan berbagai sikap dari masing-masing aliran dan kelompok yang ada di kerajaan tersebut, telah berpengaruh terhadap konteks sosial Dinasti Abbasiyah (baik langsung ataupun tidak)[11]. Dan Dinasti tersebut mengalami perkembangan yang sangat pesat, utamanya pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid yang dikenal sebagai masa keemasan Islam (The Golden Age of Islam), di mana saat itu Baghdad menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dunia.[12] Dan Baghdad menjadi saingan satu-satunya bagi Bizantium.[13]
Perhatian Harun Ar-rasyid tidak hanya pada persoalan seni, tetapi dia adalah orang yang melakukan keterbukaan kepada beberapa pihak, seperti kepada para ulama, para ahli fiqih dan para pembaca Al-quran. Sehingga, banyak kalangan yang berhasrat serupa dengan pengembangan keilmuan yang diprogramkannya saat itu. Jadi, saat itu Kota Baghdad telah menjadi kota yang terkenal di mata dunia, baik dari segi estetiknya, kebudayaan dan kemegahannya.
Dan pada masa Khalifah Abbasyiyah ada dua system sosial yang dominan, yaitu system sosial yang berkaitan dengan fenomena fisik dan system sosial yang berkaitan dengan fenomena non fisik, seperti keilmuan dan kesenian.  Itulah fakta kondisi sosial pemerintahan Abbasyiah yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan Imam Syafi`i. Yaitu, ketika itu dia hidup di Baghdad-dimana dia menulis kitabnya yang berjudul Ar-risalah- yang dijadikan sebagai ibu Negara dan  telah mencapai puncak keagungannya. Sehingga, bangkitnya keilmuan Syafi`I tidak bisa lepas dari kegiatan keilmuan tersebut.[14]
Dan ketika Imam Syafi`I pergi ke Mesir, pola pemikirannya menjadi berubah dan berbeda dari pola pikir yang telah ditulis dan diungkapkan di Baghdad. Yaitu lahirnya pemikiran qaul qadim dan qaul jadid salah satunya adalah dipengaruhi factor sosial, sehingga Imam Syafi`I melakukan upaya aktualisasi dan kontekstualisasi terhadap hukum yang telah difatwakannya sebelumnya, karena batas kubu besar aliran fiqih di Mesir saat itu sudah terlihat jelas. Sehingga, Imam syafi`I berusaha memposisikan dirinya berada di antara dua kubu tersebut, al-ra`yu dan ahl hadits.
b.    Faktor Politik
Faktor politik disinyalir juga memiliki andil dalam berbagai persoalan, termasuk gerakan ilmu pengetahuan, pemikiran Islam dan syariah.
(1)     Politik Internal
Politik internal pemerintahan Abbasyiyah pertama, lebih khusus lagi pada masa Imam As-Syafi`I telah menunjukkan adanya karakter politik yang berbeda jauh jika dibandingkan dengan karakter politik pemerintahan Dinasti Umayyah. Pemerintahan Abbasyiah lebih banyak berpegang pada unsure-unsur Persi, sedangkan Dinasti Bani Ummayah lebih banyak berpegang pada unsure kearaban. Adapun corak pemerintahan yang dikehendaki pada masa pemerintahan Abbasyiah adalah politik yang tetap memiliki respon tinggi kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Jadi, secara umum pemerintahan Abbasyiah telah menampilkan politik yang baik dan ideal.[15]
(2)     Politik Eksternal
Kondisi politik eksternal pemerintahan Abbasyiah, khususnya pada masa kehidupan Imam Syafi`I, sedikitpun tidak mengalami perkembangan dan kemajuan. Bahkan kekuasaan pemerintahan Abbasiyah jauh dari pusat kekuasaan pemerintahan-yaitu kota Baghdad- telah banyak mengalami penyusutan, seperti munculnya pemberontakan di Armenia.[16] Pemberontakan-pemberontakkan yang terjadi telah menggagalkan orientasi Harun Ar-Rosyid untuk untuk memperluas wilayah Abbasyiah.
Pemberontakan-pemberontakan itu disebabkan oleh:[17]
(a)      Kurang adanya perhatian pemerintahan Abbasyiah terhadap persoalan-persoalan yang membahayakan
(b)     Semakin menguatnya peran Persi, padahal semangat kemenangan mereka lebih kecil jika dibandingkan dengan orang Arab.
(c)      Adanya kecerobohan sebagian khalifah pada persoalan eksternal pemerintahan
(d)     Kecemburuan sosial lahir akibat adanya kepemihaan pemerintah yang tidak seimbang antara dua unsure bangsa yang dominan, yaitu Persi dan Arab
Jika kondisi politik tersebut dihubungkan dengan kondisi Imam Syafi`I, maka erat kaitannya, yaitu Imam Syafi`I adalah keturunan Quraisy yang sangat panatis terhadap Arabisme. Keadaan inilah yang membuatnya terhalang untuk mensosialisasikan ilmunya yang pemerintah saat itu didominasi oleh unsure Persi.[18] Dalam hal ini, dia dituduh sebagai penyebar syiah, karena itu selama 14 tahun berada di Mekkah, setelah itu dia kembali ke Baghdad dengan menganggap bahwa panatisme terhadap Persi tidak sekuat dulu dan dia hendak menjadi mujtahid yang membangun dan memasyarakatkan madzhabnya. Namun, setelah pemerintahan dipegang Al-Makmun, Syafi`I meninggalkan Baghdad dan pergi ke Mesir, yaitu dengan alasan bahwa Al-Makmun mendukung paham mu`tazilah serta menentang kaum ahl sunnah dan ulama hadits.[19]
Namun, di Mesir Imam Syafi`I merasakan kenyamanan baru dan kota tersebut kondusif untuk pengembangan madzhab barunya. Dan hal ini tidak menutup kemungkinan dari adanya materi hukum yang telah fatwakan di Irak banyak yang mengalami perubahan, walaupun hanya dalam materi furu` saja.
c.    Faktor Ekonomi
Bagdad berubah menjadi kota besar dan menjadi pusat metropolitan, yang mengakibatkan perkembangan pada meluasnya perkampungan militer abbasyiah dan munculnya pemukiman al-karkh. Inilah yang menjadi penyebab kreatifitas perekonomian.
d.   Faktor Budaya
Faktor kebudayaan dan adat istiadat sangat mempengaruhi terhadap pertumbuhan dan perubahan hukum Islam. Setelah banyaknya negara-negara yang dikuasai oleh Islam, padahal negara-negara yang dikuasai tersebut telah memiliki kebudayaan-kebudayaan dan adat-istiadat masing-masing yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja, kebudayaan dan adat-istiadat mereka telah menyatu. Oleh karena itu asimilasi (percampuran) antara kebudayaan (adat istiadat) setempat dengan kebudayaan Islam sering terjadi, sehingga menimbulkan akibat lain dari hukum Islam itu sendiri.[20]
Selama 18 tahun Imam Syafi`I (mulai dari usia dua tahun) dia tinggal di Mekkah. Kota tersebut kental dengan kearabannya, sementara pemerintah Abbasyiah saat itu didominasi oleh unsure Persia. Sebelum kedatangan Islam, Persi sebenarnya sudah merupakan pemerintahan yang besar. Dan dengan terbukanya ajaran Islam yang luas, menyebabkan budaya Arab berhadapan langsung dengan budaya asing, salah satunya melalui penerjemahan.[21] Kompleksitas dan pluralitas budaya, baik langsung atau tidak, banyak berpengaruh bagi kematangan daya pemikiran Imam Syafi`i. kematangan daya nalarnya yang telah lama terbangun oleh pengalaman pengembaraan selama hidupnya, ditambah lagi dengan berbagai budaya yang telah berinteraksi, membuatnya bertambah kritis dan dinamis. Dan perubahan hukum yang terjadi ketika Imam Syafi`I berada di Iraq dan Mesir merupakan bukti akan kesempurnaan ilmu dan pengalamannya. Karena di Mesir ia menemukan dalil yang lebih pasti, yaitu akibat dari ragam budaya pemikiran yang berkembang di Mesir.[22]
e.    Faktor Geografis
Faktor geografi sangat menentukan terhadap perkembangan dan pembentukan hukum Islam. Faktor geografis yang sangat menentukan tersebut adalah iklim dan perkembangan daerah itu sendiri. Seperti telah diketahui iklim di Hijaz berbeda dengan iklim di Irak dan berbeda pula dengan iklim yang ada di Mesir, sehingga melahirkan fatwa Imam Syafi’i yang berbeda. Adanya qaul qadim dengan qaul jadid, membuktikan adanya berbedanya iklim dan geografi.
Ulama ahlu ra’yi dan ahlu hadits berkembang dalam dua wilayah geografis yang berbeda. Ulama ahlu rayi dengan pelopornya Imam Abu Hanifah berkembang di kota Kufah dan Bagdad yang metropolitan, sehingga harus menghadapi secara rasional sejumlah persoalan baru yang muncul akibat kompleksitas kehidupan kota, maka Imam Abu Hanifah dan para muridnya menulis kitab-kitab fiqh yang lebih mendasarkan kepada ra’yu. Sebaliknya Imam Malik bin Anas yang hidup di Madinah yang tingkat kompleksitas hidup masyarakatnya lebih sederhana, ditambah kenyataan banyaknya hadits-hadits yang beredar di kota ini, cendrung banyak menggunakan hadits ketimbang rasio atau akal”. Hal ini menunjukan bahwa berbeda geografis kota akan menentukan terhadap pembentukan hukum. Kota- kota yang secara geografis dipengaruhi oleh ahli filsafat akan berbeda dalam pembentukan hukum disbanding dengan kota-kota yang secara geografis dipenuhi oleh ahli-ahli tasauf. Kota-kota yang tingkat kompleksitasnya lebih tinggi akan berbeda pula pengaruh hukumnya dengan kota-kota yang tidak ada kompleksitasnya. Kota-kota yang modern akan berbeda pula pengaruh hukumnya dengan kota-kota yang sederhana dan tertutup. Artinya tingkat urbanisasi disuatu daerah akan menentukan dalam pembentukan hukum pada daerah itu sendiri.[23]
Mesir secara geografis lebih subur dibandingkan dengan Irak, karena adanya Sungai Nil yang selalu meluap, di Mesir air lebih mudah didapatkan jika dibandingkan dengan di Irak. Oleh karena itu dalam masalah yang ada kaitannya dengan air (iklim), seperti thaharah, berwudlu, shalat dalam keadaan tidak ada air dan lain sebagainya, Imam Syafi’i telah mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan fatwa sebelumnya ketika di Irak.
Dengan demikian pada intinya para imam mujtahid sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim daerah yang ia tempati. Daerah yang panas akan berbeda dengan daerah yang dingin, daerah yang banyak air akan berbeda dengan daerah kering. Begitu juga akan dipengaruhi oleh kemajemukan kota dan kemajuan kota tempat imam mujtahid tinggal. Semakin banyaknya suku bangsa yang hidup disuatu kota akan berbeda dengan kota yang hanya dihuni oleh satu suku bangsa saja, kota yang lebih modern akan berbeda pula dalam menentukan hukumnya bila dibandingkan dengan kota yang sederhana dan tertinggal.
f.     Faktor Ilmu Pengetahuan
Faktor Ilmu Pengetahuan bisa mempengaruhi hasil ijtihad para imam mujtahid dalam menggali hukum dan menentukan hukum. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa Imam Syafi’i seorang yang ahli hadits, karena beliau belajar hadits kepada Imam Malik bin Anas di Madinah, Imam Syafi’i juga seorang ahli ra’yu, karena beliau belajar kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhamamd bin Hasan murid Imam Abu Hanifah di Irak. Dengan faktor ilmu pengetahuan Imam Syafi’i tersebut, maka hasil ijtihad Imam Syafi’i tidak sama dengan gurunya yang ahli hadits maupun dengan ahli ra’yu. Karena pengetahuan Imam Syafi’i sangat berbeda dengan gurunya yang ada di Madinah sebagai ahli hadits ataupun gurunya yang ada di Irak sebagai ahli ra’yu, tetapi Imam Syafi’i menggabungkan kedua pendapat gurunya itu menjadi fatwanya sendiri. Setelah Imam Syafi’i tinggal di Mesir, pengalaman Imam Syafi’i semakin bertambah dan Imam Syafi’i tetap bertukan fikiran kepada ulama-ulama Mesir. Sehingga setelah berada di Mesir Imam Syafi’i menemukan ada dalil-dalil yang lebih kuat dan lebih shahih bila dibandingkan dengan hasil ijtihadnya ketika masih berada di Irak.[24] Oleh karena itu Imam Syafi’i memandang perlu untuk meluruskan dan meralat kembali fatwa-fatwa beliau ketika masih berada di Irak, karena menganggap fatwa-fatwa beliau yang dikeluarkan di Irak tidak didukung dengan dalil yang lebih kuat.

4.    Relevansi Qaul Qadim Dan Qaul Jadid Pada Pembaharuan Pemikiran Islam
Terjadinya pergeseran paradigma pemahaman keagamaan dan perilaku keberagaman al-Syafi dari qaul qadim ke qaul jadid, sebagai dampak dari penalaran kritisnya telah mengilhami munculnya model pemahaman keagamaan dan perilaku keberagaman umat Islam bercorak kritis-transformatif. Pemahaman keagamaan yang tidak saja bercita-cita memahami dari dalam dunia makna yang telah berhasil dikonstruk oleh beberapa ulama klasik, lebih dari itu ingin mengetahui lebih jauh karir sosial dan proses sosial yang melingkupi terbentuknya nalar keagamaan mereka.
Tidak hanya itu, pola pergeseran pemahaman keagamaan di atas juga menginspirasikan bahwa watak khas semua pemikiran hukum, tidaklah hampa dari ruang sejarah, karena itu ia tidak kebal kritik (qabilun li al-nuqas). Dengan demikian terjadinya perubahan madzhab al-Syafi’i berarti pula bahwa watak pemikiran hukum Islam pada hakikatnya bersifat dinamis, inklusif, dan kolaboratif. Mengingat, pemikiran hukum al-Syafi’i melalui proses ijtihadinya tidak bisa lepas dari kebenaran subjektif (dzanni) dan bukan kebenaran final (qath’i). watak inklusifitas pemikiran hukum Islam itu bisa dilihat dalam beberapa permasalahan hukum sebagaimana berikut[25]:
a.    Adanya dinamisasi perkembangan fatwa al-Syafi’i yang terjadi di Iraq maupun yang ada di Mesir.
b.    Munculnya tradisi penalaran hukum yang kritis dikalangan murid-murid al-Syafi’i yang ditandai dengan komitmennya untuk meninggalkan tradisi taqlid. Sebaliknya, perintah berijtihad untuk memeriksa kembali dan meninggalkan fatwanya jika tidak sesuai dengan al-Sunnah adalah tradisi intelektual yang berhasil dibangun ketika itu.
c.    Dinamisasi pemikiran hukum yang sangat terbuka itu tidak saja menyentuh ranah ontologis mengenai konsep-konsep teoretik, lebih dari itu kerangka epistemologinyapun tampak telah disiapkan secara sistematis dan filosofis, yang karena itulah beliau disebut sebagai peletak dasar metodologi hukum Islam. Dengan demikian secara teknis beliau berhasil menyusun dan menata kaidah-kaidah ushul al-fiqh sebagai pedoman dalam melakukan ijtihad.
d.   Para pengikut madzhab al-Syafi’i tidak segan-segan melakukan kajian intensif dan kajian ulang menyangkut berbagai kaidah-kaidah ushul al-fiqh al-Syafi’i yang berhasil dikonstruk pada masanya. Hal ini menggambarkan adanya keterbukaan pola pemikiran hukum di antara mereka, sekaligus kesadaran bahwa dalam setiap produk pemikiran hukum Islam meniscayakan untuk ditinjau kembali sesuai tuntutan situasional dan kondisional yang melingkupinya.
e.    Kerja intelektual berupa ijtihad dan penelitian ulang terhadap fatwa al-Syafi’i, tidak sedikit telah menghasilkan temuan-temuan berupa fatwa baru.
f.     Adanya perbedaaan jendela pandang dikalangan Syafi’iyah dalam memaknai produk-produk fatwa al-Syafi’i, kaitannya dalam melakukan kerja-kerja ilmiyah, yaitu kegiatan mengambil kesimpulan atau hikmah hukun.
g.    Munculnya penyimpangan fatwa di kalangan pengikut madzhab Syafi’i dari fatwa al-Syafi’i, setelah melalui upaya pengerahan penalaran ijtihadnya. Tentu saja ini semua karena pengaruh karir sosial dan proses sosial yang berbeda yang melingkupi pola pemikiran mereka.
h.    Adanya fleksibilitas dan kebebasan dalam memilih keputusan hukum yang ada.
i.      Fenomena difungsikannya kembali beberapa fatwa qaul qadim al-Syafi’i oleh para pengikut madzhabnya.
j.      Munculnya anjuran ulama al-Syafi’iyah mengenai tidak dibenarkannya taqlid kepada mujtahid yang telah wafat.
k.    Adanya pandangan di kalangan ulama al-Syafi’iyah bahwa penyimpangan fatwa dengan pertimbangan kemaslahatan telah diakui sebagai kaidah baru.

Semangat keterbukaan pemikiran hukum Islam al-Syafi’i sebagaimana yang berhasil dielaborasi di atas menggambarkan bahwa watak pemikiran hukum dari zaman ke zaman, baik produk pemikiran hukum al-Syafi’i, Syafi’iyah maupun produk pemikiran hukum secara umum meniscayakan adanya proses kompromistik dengan semangat zaman. Tegasnya, setiap fenomena hukum membutuhkan adanya fatwa dan menuntut kearifan dalam berijtihad sesuai dengan tuntutan situasinya. Dengan kata lain ijtihad terdahulu yang dilakukan sehubungan dengan kasus tertentu, pada prinsipnya tidak berlaku untuk kasus serupa pada kondisi berbeda[26].
Untuk itu jika terdapat pandangan yang mengatakan bahwa kodifikasi hukum Islam pada hakikatnya telah mencapai kepastian hukum, adalah pandangan yang tidak sesuai dengan prinsip madzhab al-Syafi’i. idealitas dari prinsip madzhab ini, bahwa seorang hakim seyogyanyan adalah seorang mujtahid, dan setiap mujtahid tidak diperkenankan untuk bertaqlid. Dengan demikian bagi seorang hakim tidak diperkenankan untuk bertaqlid, yaitu dengan mengikuti hasil pandangan orang lain, utamanya hasil pendapat yang telah dikodifikasi.
Tradisi berijtihad di kalangan ulama madzhab al-Syafi’i terjadi secara bertahap. Jika ijtihad mutlak belum dapat dicapai, para ulama madzhab al-Syafi’i akan dapat memberikan jawaban-jawaban melalui ijtihad muqayyad, yaitu dengan melakukan tafri’, menganalogikan hukum yang telah ada dalam madzhab kepada masalah-masalah yang dihadapi berdasarkan jenis dan sifatnya. Mengingat besarnya perbendaharaan fatwa dalam madzhab ini, diharapkan masalah-masalah baru dapat dicarikan rujukannya pada kajian yang telah ada.
Lebih dari itu kerja intelektual yang sangat sederhanapun bagi ulama al-Syafi’iyah, suatu contoh sekedar memiliki kemampuan memilih dan memilah (tarjih) pun, relatif banyak masalah yang dapat diambil jawabannya dari perbendaharaan yang luas itu. Lebih sederhana lagi melalaui kasus-kasus personal saja ulama dalam madzhab ini, berhasil melakukan kajian jauh ke depan.
Sementatra itu bagi masyarakat muslim yang tidak memiliki sekaligus menguasai berbagai piranti metodologis berupa penguasaan ilmu ushul al-fiqh, untuk menelaah teks normative, maka diperkenankan untuk mengikuti (taqlid) dari hasil tarjih maupun istimbath para ulama yang menguasai ilmu-ilmu istimbath hukum. Para ulama dalam kategori mujtahid tarjih dalam madzhab ini selalu menyiapkan kitab-kitab “baku” yang terus diperbaharui dengan fatwa-fatwa terkini.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa sejauh perkembangan pembaruan madzhabnya, imam Syafi’i bisa dianggap sebagai pemuka pembaruan dalam pemikiran hukum Islam. Atas dasar itu tidaklah beralasan jika Imam Syafi’i dianggap sebagai sosok yang berperan mempengaruhi kemandekan pemikiran umat Islam, lebih-lebih menghambatnya. Sebaliknya ia adalah ulama yang sangat mendukung proses kea rah dinamisasi pembaruan hukum Islam. Hal ini bisa dilihat bahwa peralihan dari qaul qadim ke qaul jadid dalam madzhab ini tidak hanya terjadi pada fatwa-fatwa hukum sebagai hasil ijtihad, melainkan juga terjadi pada sebagian kaidah-kaidah ijtihad itu sendiri.








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Dari pemaparan pada bab 2 diatas tentang “pendekatan sosiologis; beberapa faktor sosio-historis yang melatarbelakangi munculnya perubahan dari qaul qadim ke qaul jadid imam syafi`i” dapat kita ambil beberapa kesimpulan berikut:
1.      Imam Syafi`I dilahirkan pada tahun 150 H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya. Belum lagi beliau menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru. Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah. Beliau wafat pada hari kamis di awal bulan sya’ban tahun 204 H dan umur beliau sekita 54 tahun.
2.      Apa saja yang dikatakan dan ditulis Imam Syafi’i ketika berada di Iraq dinamakan aliran lama, sedangkan yang dikatakan dan ditulis di Mesir dinamakan dengan aliran baru. Pandangan senada juga dikemukakan oleh Ahmad Amin Abd al-Mun’im al-Bahy, menurutnya ulama yang telah membagi fuqh Imam Syafi’i menjadi dua madzhab, yaitu madzhab qadim (fatwa lama) dan madzhab jadid (fatwa baru). Adapun yang disebut sebagai madzhab qadim adalah fiqh Imam Syafi’i yang ditulis dan dikatakan ketika ia di Iraq. Sedangkan yang disebut madzhab jadid adalah apa saja yang ditulis dan dikatakan ketika ia berada di Mesir.
3.       Beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya qaul qadim dan qaul jadid adalah faktor social, faktor politik (baik Internal maupun eksternal), Faktor Ekonomi, Faktor Budaya, Faktor Geografis Faktor Ilmu Pengetahuan


B.     Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, baik masukan maupun kritikan dari teman-teman, kami harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Untuk memahami lebih dalam tentang pembahasan ini kami sarankan untuk membaca buku karangan Bapak Dr. H. Roibin, M. A dengan judul Sosiologi Hukum Islam: Tela’ah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i yang diterbitkan oleh UIN Malang Press.


[4] ibid
[5] op.cit. Http//zaenuri.wordpress.com
[6] op.cit. Http://dakwahkampus.com
[7] Roibin, Sosiologi Hukum Islam: Tela’ah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i, (Malang: UIN Maliki Press, 2008). h. 133-134
[8] Ibid, h. 125
[9] Ibid, h. 126-127
[10] Ibid, 134
[11] ibid, h. 172-175
[12] http://id.wikipedia.org/wiki/Harun_Ar-Rasyid
[13] Philip K, Hitti. History Of The Arabs. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta:. 2002). h. 375
[14] A. Salabi, Sejarah Kebudayaan Islam 3 (Jakarta: Pustaka al-Husna. 1993)  h. 112
[15] Roibin. op.cit, h. 181-182
[16] ibid
[17] ibid. h. 184
[18] ibid. h. 186
[19] ibid. h. 187-188
[20] Soleman Soleh, M. H. Imam Syafei’i: Orang Pertama sebagai Mujahid Kotemporer (PDF). h.5
[21] Roibin, op.cit. h 197-198
[22] ibid. h 199
[23] Soleman Soleh, M. H, op.cit. h. 24
[24] Soleman, Sholeh M.H. Imam Syafi’i Orang Pertama Sebagai Mujtahid Kontemporer (PDF)
[25] Roibin. op.cit, h. 201-203
[26] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks