fILSAFAT ILMU NAHWU
Oleh : H. Muhammad Jamhuri Lc. MA
Dalam kitab “Al Kawakib Al
Durriyah” diceritakan, Syeikh Imam Al-Sonhaji, pengarang sebuah kitab
nahwu, tatkala telah rampung menulis sebuah buku tentang kaidah nahwu yang
ditulisnya dengan menggunakan sebuah tinta, beliau mempunyai azam
untuk meletakkan karyanya tersebut di dalam air. Dengan segala sifat
kewara’annya dan ketawakkalannya yang tinggi, beliau berkata dalam dirinya: “Ya
Allah jika saja karyaku ini akan bermanfaat, maka jadikanlah tinta yang aku
pakai untuk menulis ini tidak luntur di dalam air”. Ajaib, ternyata tinta yang
tertulis pada lembaran kertas tersebut tidak luntur. Dalam riwayat lain
disebutkan, ketika beliau merampungkan karya tulisnya tersebut, beliau berazam
akan menenggelamkan tulisannya tersebut dalam air mengalir, dan jika kitab itu
terbawa arus air berarti karya itu kurang bermanfaat. Namun bila ia tahan
terhadap arus air, maka berarti ia akan tetap bertahan dikaji orang dan
bermanfaat. Sambil meletakkan kitab itu pada air mengalir, beliau berkata :
“Juruu Miyaah, juruu miyaah” (mengalirlah wahai air!). Anehnya, setelah kitab
itu diletakkan pada air mengalir, kitab yang baru ditulis itu tetap pada
tempatnya.
Itulah kitab matan
“Al-Jurumiyah” karya Imam Al Sonhaji yang masih dipelajari hingga kini. Sebuah
kitab kecil dan ringkas namun padat yang berisi kaidah-kaidah ilmu nahwu dan
menjadi kitab rujukan para pelajar pemula dalam mendalami ilmu nahwu (kaidah
bahasa Arab) di berbagai dunia. Selain ringkas, kitab mungil ini juga mudah
dihafal oleh para pelajar.
Di sini penulis tidak hendak
mengemukakan kaidah ilmu nahwu dengan segala pembagiannya. Yang akan penulis
kemukakan adalah, bahwa di dalam kitab yang melulu membahas tata bahasa Arab,
ternyata kalau dikaji lebih dalam lagi, ia memiliki filsafat-filsafat hidup dan
nasehat yang sangat berharga bagi setiap generasi terutama bagi kita sebagai
ummat Islam. Filsafat hidup yang termaktub dalam kitab itu sendiri merupakan
“hukum” atas suatu kalam atau kalimat dalam ilmu nahwu. Berikut ini adalah
contohnya:
Bersatu kita terhormat
Dalam ilmu nahwu, “dhommah”
adalah salah satu tanda dari tanda-tanda “rofa’”. Secara lafdziah kata
dhommah berarti bersatu. Sedang kata rofa’berarti
tinggi. Maksudnya, bila kita dapat bersatu dengan sesama, dapat menjaga
kesatuan dan persatuan, dapat mempererat tali ukhuwah, bukan tidak mungkin kita
akan menjadi umat yang terhormat dan tinggi (rofa’) di antara bangsa dan umat
lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :”Bersatulah kalian pada tali
(agama) Allah, dan janganlah kalian berpecah belah” (Ali Imran: 103).
Sementara untuk mendapatkan derajat tinggi harus memenuhi syarat, di antaranya
adalah iman. Firman Allah SWT: “Janganlah kalian merasa hina dan sedih,
padahal kamu tinggi jika kamu beriman (Ali Imran: 139).
Ada beberapa keriteria sehingga orang bisa
mendapatkan derajat rofa’ (tinggi). Sebagaimana dijelaskan dalam Al
Jurumiyah, bahwa di antara kedudukan kalimat yang mendapat hukum rofa’
atau marfu’ (yang diberi penghargaan tinggi) adalah: fa’il,
naib fa’il, mubtada’, khobar dan tawabi’ marfu’(sesuatu yang
mengikuti segala kalimat marfu’) seperti sifat (na’t), badal, taukid dan
‘atof. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Fa’il (aktivis). Bila
kita ingin menjadi orang yang dihargai, tinggi dan tidak terhina, maka
hendaklah kita berbuat, bekerja dan berusaha, tidak berpangku tangan atau hanya
mengharap belas kasih orang lain. Hanya orang yang aktif dan pro aktiflah (fa’il)
yang membuahkan karya-karya dan amal dan menjadi terhormat di lingkungannya.
Firman Allah SWT: “Dan katakanlah (hai Muhammad): Bekerjalah kalian!
sesungguhnya pekerjaan kalian akan dilihat oleh Allah, RasulNya dan kaum
mu’minin” (At Taubah : 105). Sabda Nabi Muhammad SAW: “ tangan di atas
(pemberi) lebih baik dari tangan di bawah(peminta)”.
2. Naib fa’il (mewakili
tugas-tugas aktivis) adalah tipe kedua orang yang mendapat derajat tinggi.
Meskipun ia berkedudukan sebagai wakil, tapi ia menjalankan pekerjaan yang
dilakukan fa’il walau harus menjadi penderita dalam kedudukannya sebagai
kalimat. Sebagai contoh dalam hal ini adalah sahabat Ali ra. Beliau pernah menggantikan
Rasulullah di tempat tidurnya dengan resiko yang tinggi berupa pembunuhan yang
akan dilakukan para pemuda musyrikin Makkah saat Rasulullah berencana
melaksanakan hijrah ke Madinah. Contoh lain adalah para huffadz yang diutus
Rasulullah untuk mengajarkan agama atas permintaan salah satu suku di jazirah
Arab, namun nasib mereka naas dikhianati dan dibunuh para pengundang. Mendengar
hal itu, Rasulullah pun membacakan do’a qunut nazilah sebagi rasa ta’ziyah.
Dengan do’a dari Rasul tersebut, tentu saja mereka yang wafat mendapat
kedudukan mulia di sisi Allah, juga oleh sejarah.
3. Mubtada (pioneer),
orang yang pertama melahirkan ide-ide positif kemudian diaplikasikannya di
tengah-tengah masyarakat sehingga berguna bagi kehidupan manusia adalah orang
yang pantas mendapat derajat rofa’ (tinggi). Oleh karena itu
Rasulullah SAW bersabda: “ Barang siapa memulai sunnah hasanah (ide positif
dan konstruktif) maka baginya pahala dan pahala orang yang melakukan ide
(sunnah) tersebut”. Ada
pepatah Arab mengatakan demikian:
الفضل للمبتدئ وان أحسن المقتدى
“Perhargaan itu hanyalah milik orang pertama
memulai, walaupun orang yang datang kemudian dapat melakukannya lebih baik”
4. Khobar (informasi).
Mereka yang memiliki khobar (informasi) itulah orang yang menguasai.
Demikian salah satu ungkapan dalam ilmu komunikasi. Di dunia ini sebenarnya
tidak ada orang yang lebih banyak ilmunya dari seorang lain. Yang ada adalah
karena orang itu lebih banyak mendapatkan dan menyerap informasi dari lainnya.
Membaca buku, apapun buku itu, sebenarnya kita sedang menyerap sebuah
informasi. Dan sebanyak itu informasi yang kita dapatkan sebesar itu pula kadar
maqam kita. Informasi dapat kita peroleh melalui berbagai cara,
termasuk di dalamnya pengalaman.
5. Tawabi’ Marfu’ (Mereka
yang mengikuti jejak langkah orang yang mendapat derajar tinggi). Jelas, siapa
saja yang mengikuti langkah dan perjuangan mereka yang mendapat derajat tinggi,
maka mereka akan dihargai. Allah berfirman: “Sungguh dalam diri Rasulullah
ada suri tauladan yang patut ditiru bagimu”. Ayat ini menegaskan kepada
kita untuk mengikuti Rasulullah yang telah mendapatkan maqoman mahmuda
(kedudukan terpuji) di sisi Allah agar kita mendapat hal yang sama di sisiNya.
Di samping itu, salah satu orang yang akan mendapat derajat tinggi adalah para
penuntut ilmu. Firman Allah SWT : “Allah akan mengangkat orang-orang yang
beriman di antara kamu dan mereka yang diberi ilmu dengan beberapa derajat”
(Al Mujadalah: 11). Ilmu adalah warisan para nabi, dan siapa yang mengikuti (tabi’)
langkah nabi ia akan mendapat kehormatan (rofa’)
Berpecah Belah Adalah Kerendahan
Tanda kasroh dalam
ilmu nahwu adalah salah satu tanda hukum khofadh. Secara harfiah, kata
kasroh bermakna pecah atau perpecahan. Sedangkan kata khofadh
bermakna kerendahan atau kehinaan. Dengan demikian suatu umat akan mengalami
kerendahan dan kehinaan apabila mereka melakukan perpecahan, tidak bersatu dan
tidak berukhuwah. Wajar saja bila para musuh menyantap dengan lahapnya kekayaan
kaum (muslimin) disebabkan mereka tidak mau bersatu dan menjaga persatuan.
Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad SAW empat belas abad lalu,
tatkala beliau menyatakan bahwa suatu saat umat Islam akan menjadi santapan
umat lain seperti srigala sedang menyantap makanan. Para
sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kita sedikit ?” Rasul menjawab:
“Tidak, justru kalian saat itu menjadi mayoritas, tapi kualitas kalian seperti
buih. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari musush-musuh kalian kepada
kalian dan Allah akan mencampakkan dalam diri kalian penyakit al-wahan”.
Sahabat bertanya: “apakah penyakit al-wahan itu?” Rasul SAW menjawab:
“cinta dunia dan takut mati”.
Dengan penyakit itulah, umat
Islam mengalami perpecahan. Sebab yang diperjuangkan bukan lagi agama mereka,
tetapi materi dan keduniaan yang pada akhirnya tidak lagi mengindahkan
kekompakkan dan persatuan di antara sesama ummat Islam.
Di samping itu sifat buih,
seberapa banyak dan sebesar apapun, ia akan terombang-ambing oleh angin yang
meniupnya. Itulah tamsil umat Islam yang tidak memperkokoh persatuan.
Hal inilah yang diisyaratkan
oleh Al-Sonhaji, bahwa penyebab segala isim (nama) menjadi makhfudh
(rendah dan hina) adalah karena tunduk dan ikut-ikutan terhadap huruf
khofad (faktor kerendahan). Atau dalam istilah nahwu lain, isim
menjadi majrur (objek yang terseret-seret/mengikuti arus) karena
disebabkan mengikuti huruf jar (faktor yang menyeret-menyeretnya) .
Karena itu, hendaknya ummat Islam selalu menjadi ikan hidup di tengah samudera.
Meskipun air samudera terasa asin, namun sang ikan hidup tetap terasa tawar.
Sebaliknya, jika ummat ini bagaikan ikan mati, maka ia dapat diperbuat apa saja
sesuai keinginan orang lain. Bila diberi garam ia akan menjadi ikan asin dan
lain sebagainya.
Berusahalah, Maka Jalan Akan Terbuka
Dalam kaidah ilmu nahwu, di
antara tanda nashob adalah fathah. Secara lafdziah, kata nashob
bermakna bekerja dan berpayah-payah. Sedang kata fathah
bermakna terbuka. Dalam hal ini, maka mereka yang mau bekerja dan berupaya
serta berpayah-payah (nashob) dalam usaha, maka mereka akan
mendapatkan jalan yang terbuka (fathah). Sesulit apapun problem yang
dihadapi, jika berusaha dan berpayah-payah untuk mengatasinya, maka insya Allah
akan menemukan jalan keluarnya. Oleh karena itu Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya
Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang berbuat di antara kalian dari
laki-laki dan wanita”. (Ali Imran: 195). Dalam Kitab Diwan As-Syafi’i.
Imam Syafi’i pernah menulis bait syair sebagai berikut:
سافر تجد عوضا عمن تفارقه # وانصب فان لذيذ العيش فى النصب
اني رأيت وقوف الماء يفسده # ان سال طاب وان
لم يجر لم يطب
Pergilah bermusafir, maka anda akan dapatkan
pengganti orang yang anda tinggalkan
Bersusah payahlah !, karena kenikmatan hidup
ini didapat dengan bersusah payah (nashob).
Sungguh aku menyaksikan mandeg-nya air dapat
merusakkan dirinya
Namun bila ia mengalir ia menjadi baik. Dan
jika menggenang ia jadi tidak baik.
Dalam bait syair ini, Imam
Syafi’i ingin menegaskan, bahwa orang yang berpangku tangan dan tidak mau
bekerja keras akan menjadi rusak, bagaikan rusaknya air yang tergenang sehingga
menjadi comberan yang kotor dan bau. Sebaliknya, bila ia mau bersusah payah dan
bergerak maka ia bagaikan air jernih yang mengalir. Indahnya kenikmatan hidup
ini terletak pada bersusah payah.
Bahkan al-Quran mengisyaratkan
kepada kita untuk tidak berpangku tangan di tengah waktu-waktu senggang kita.
Bila usai melakukan satu pekerjaan, cepatlah melakukan hal lain. Firman Allah
SWT:
فاذا فرغت فانصب
“Dan jika kamu selesai (melakukan tugas),
maka lakukanlah tugas lain (nashob)” (Al Insyiroh: 7).
Kepastian Akan Menimbulkan Rasa Tenang
Kaidah lain yang terdapat
dalam ilmu nahwu adalah, bahwa di antara tanda jazm adalah sukun.
Secara lafdziah, kata jazm bermakna kepastian. Sedang
kata sukun berarti ketenangan. Ini mengajarkan kepada
kita, bahwa kepastian (jazm) akan melahirkan rasa ketenangan (sukun).
Orang yang tidak mendapatkan kepastian dalam suatu urusan biasanya akan
merasakan kegelisahan. Sebagai contoh seorang remaja yang ingin melamar seorang
gadis kemudian tidak mendapatkan kepastian, dia akan mengalami kegelisahan.
Demikian juga orang yang hidupnya sendiri, ia tidak mendapatkan ketenangan.
Oleh karena itu Allah SWT mengisyaratkan kita agar mempunyai teman pendamping
dalam hidup ini agar mendapat ketenangan. Firman Allah SWT:
ومن
آياته ان خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا اليها
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah
adalah Ia menjadikan bagimu pasangan dari jenismu (manusia) agar kalian merasa
tenteram kepadanya” (Ar Rum: 21).
Wallahu’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks